5 Fakta Menarik Perovskite, Mineral Penghasil Listrik!
Perovskite – Berbicara tentang listrik tentu tidak akan ada habis-habisnya. Karena dengan listrik lah manusia dapat hidup dengan sehat sentosa hingga saat ini. Masalah penerangan lampu rumah, penghidupan peralatan elektronik, dan jaringan komunikasi — semuanya membutuhkan listrik untuk bisa menyala. Maka dari itu, pembicaraan mengenai listrik perlu diutamakan dan didahulukan.
Alangkah baiknya pengarusutamaan listrik menitikberatkan bagaimana pembangkit dapat menghasilkan banyak listrik dengan bahan bakar yang tidak akan habis. Hal ini ditujukan untuk bisa memenuhi kebutuhan semua umat manusia, bahkan kalau bisa sampai pertumbuhan manusia yang entah sampai berapa jumlahnya. Maka, dari sinilah mulai mencuat urgensi pembicaraan mengenai alternatif pembangkitan listrik.
Pembangkitan listrik yang diharapkan adalah perangkat yang mampu menghasilkan listrik dengan bahan bakar yang tidak akan habis jumlahnya. Persis dengan yang disebutkan sebelumnya. Dan ketika membahas Indonesia, sinar matahari lah yang mampu menghasilkan listrik paling banyak — mengingat Indonesia berada di daerah khatulistiwa. Dengan demikian, adalah pembangkitan listrik tenaga surya (PLTS), teknologi yang dimaksud dapat memproduksi banyak listrik.
Di Indonesia, PLTS yang marak digunakan adalah panel surya photovoltaik (PV) dengan bahan kristal silikon. Jumlah penggunaan ini sekitar 90% daripada PLTS yang ada di Indonesia. Memang, berdasarkan laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), nilai keekonomisan dari PLTS yang digunakan selama ini menurunkan harga listrik sebesar 75%. Akan tetapi, nilai ini masih dapat dioptimalkan lebih lanjut [1].
Cara mengoptimalkannya adalah dengan mengganti PV dengan bahan lainnya. Bahan yang dicari adalah bahan yang sekiranya dapat meningkatkan nilai keekonomisan dari PLTS. Dan berdasarkan penelusuran para ilmuwan, perovskite lah yang dapat menopang keekonomian PLTS.
Asal-usul
Perovskite adalah senyawa mineral kalsium titanium oksida (CaTiO3) yang pertama kali ditemukan oleh Gustav Rose, seorang pakar mineral Jerman. Pada 1839, Rose bersama dua rekannya melakukan ekspedisi penelitian kandungan mineral di daerah sekitar Pegunungan Ural dan Altai, Rusia.
Setelah berhasil menemukan kandungan mineral misterius ini, Rose memberi mineral itu dengan nama perovskite. Pemberian nama ini ditujukan untuk menghormati minerolog terkenal di Rusia bernama Lev Alekseyevich von Perovski. Adapun sejak tahun 1926, penelitian dilanjutkan di tangan Victor Goldschmidt [2].
Seperti Apa Panel Perovskite?
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa perovskite merupakan material yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik berbasis tenaga surya. Adapun bahan perovskite yang paling banyak digunakan adalah halida methylamonium. Bahan ini termasuk dalam bahan organik-anorganik hibrida atau bahan berbasis timah hibrida — yang dapat digunakan untuk menyerap cahaya. Oleh sebab itulah lapisan film perovskite begitu tipis, dan membuatnya dapat menyerap cahaya dan menghasilkan listrik lebih banyak dibandingkan silikon panel PV.
Tingkat efisiensi penyerapan matahari ini membuat perovskite lebih fleksibel dibandingkan panel PV. Ini menjadikan perovskite dengan koefisien penyerapan yang tinggi, di mana menunjukkan angka sekitar 500 Newton meter (Nm). Jumlah ini sangat dapat menyerap spektrum matahari dengan baik.
Perkembangan Penemuan Perovskite
Memang perovskite ditemukan pertama kali pada abad ke-19. Namun secara praktiknya, perovskite baru digunakan sebagai bahan PLTS pada tahun 2009 — yang ditemukan oleh Universitas New South Wales (UNSW), Australia [3].
Secara individu, orang yang pertama kali mengembangkan PLTS berbahan mineral baru ini adalah Anita Ho-Baillie, seorang peneliti senior dari Australian Centre for Advanced Photovoltaics (ACAP) UNSW. Pada saat itu Ho-Baillie sudah mencapai kesimpulan bahwa perovskite memiliki tingkat efisiensi 10 kali lipat dari bahan panel surya digunakan saat ini.
Dan nilai tingkat efisiensi ini berlipat banyak pada tahun 2018. Sebuat riset baru yang dilakukan oleh Universitas Oxford menunjukkan bahwa, tingkat efisiensi pemanfaatan perovskite dapat mendekati angka 25%. Bahkan pada Desember 2018, tingkat efisiensi mineral baru ini bisa mencapai 28%. Dari penelitian-penelitian inilah para ilmuwan termotivasi untuk mengembangkan riset pemanfaatan mineral baru ini untuk PLTS.
Referensi:
[1] Setiawan A, 2020, Perovskite, Si Ramping Pemburu Listrik Surya, indonesia.go.id, dilihat 04 Februari 2021, <https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/perovskite-si-ramping-pemburu-listrik-surya>.
[2] Pribadi A, 2020, Perovskite, Mineral Baru Sumber Energi Listrik Masa Depan, EBTKE, dilihat 04 Februari 2021, <https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/05/16/2538/perovskite.mineral.baru.sumber.energi.listrik.masa.depan#:~:text=Perovskite%2C%20Mineral%20Baru%20Sumber%20Energi%20Listrik%20Masa%20Depan&text=Mineral%20perovskite%20mampu%20dimanfaatkan%20sebagai,PV)%20yang%20berbasis%20kristal%20silikon.>.
[3] Fajar T, 2020, Mengenal Perovskite, Mineral Baru Sumber Energi Listrik Masa Depan, okefinance, dilihat 04 Februari 2021, <https://economy.okezone.com/read/2020/05/18/320/2215810/mengenal-perovskite-mineral-baru-sumber-energi-listrik-masa-depan?page=2>.
Sumber https://rakhman.net/