Energi,  Mineral

Selamat Datang Perovskite, Mineral Baru Sumber Energi Listrik Masa Depan

Meningkatnya konsumsi energi seiring menipisnya cadangan energi fosil, mendorong berbagai ilmuwan untuk memecahkan solusi dalam mencapai pemenuhan kebutuhan energi.

Mineral perovskite dinilai mampu menjawab masalah krisis energi terutama bagi negara-negara tropis, seperti Indonesia. Mineral jenis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, dalam pemanfaatan pembangkit berbasis tenaga surya.

Perovskite memiliki tingkat efisiensi penyerapan matahari maupun fleksibilitas biaya, dibandingkan panel photo voltaic (PV) yang berbasis kristal silikon.

“Ada kelemahan utama dari Silicon PV panel, yaitu sangat tidak efisien. Pencapaian efisiensinya hanya sekitar 7-16 persen saja, dan tergantung kepada orientasi penempatan serta kondisi cuaca. Panel silikon dibuat relatif tebal dan berlapis, tidak seperti film yang tipis. Sehingga, bisa lebih kuat dan tahan lama. Namun di sisi lain, harus mengorbankan efisiensinya,” kata Direktur Utama PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf dilansir di akun media sosialnya, Selasa (12/5).

Penemuan perovskite, dapat menjanjikan hasil yang lebih baik. Sehingga, bisa menjadi andalan yang dapat mengalahkan atap panel dari sisi efisiensi.

“Panel-panel dengan lapisan-lapisan film tipis perovskite dapat menyerap cahaya, dari panjang gelombang yang kisarannya sangat lebar. Di samping lebih produktif menghasilkan listrik, ketimbang silikon PV panel,” ungkapnya.

Riset terbaru yang dilakukan oleh Universitas Oxford pada tahun 2018 menunjukkan, tingkat efisiensi pemanfaatan perovskite menyentuh angka 25 persen, dan pada bulan Desember 2018 mencapai 28 persen.

Hingga saat ini, para ilmuwan terus mengembangkan riset tersebut untuk dikomersilkan secara massal, sejak diteliti pada tahun 2012.

Nanang menilai, pemanfaatan matahari di Indonesia sebagai langkah yang tepat. Hal ini mempertimbangkan sifat matahari sebagai sumber energi yang tidak terbatas.

“Setiap jam, matahari memberikan energi sebesar 430 quintillion (10 pangkat 18) Joules dan lebih dari 410 quintillion (10 pangkat 18) Joules telah dikonsumsi sepanjang tahun,” terangnya.

Menurut International Energy Agency (IEA), tenaga surya telah menyuplai sekitar 592 Giga Watt atau hanya sekitar 2,2 persen saja, dari pemakaian tenaga listrik dunia sebesar 26,571 Giga Watt di tahun 2018.

Setelah maraknya pemasangan photo voltaic (PV), maka pemakaian tenaga surya meningkat menjadi 100 Giga Watt atau 20 persen dari pemakaian listrik dunia.

Lebih dari 90 persen pemasangan panel photo voltaic (PV) dibuat dari kristal siliko. Hal ini sejalan dengan semakin kompetitifnya rata-rata harga listrik pembangkit tenaga surya.

Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), pembangkit tenaga surya sudah sangat kompetitif dibandingkan pembangkit dari energi fosil, seperti dari minyak, gas dan batubara, dengan rata-rata harga listrik turun sekitar 75 persen atau di bawah 10 cent dolar AS/KWh.

“Hal ini merupakan babak baru kehidupan manusia, yang mulai meninggalkan sumber energi fosil, yang selama ini digunakan lebih dari satu abad. Selamat datang Perovskite,” tegas Nanang.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan, potensi pengembangan energi surya di Indonesia sangat besar. Tercatat, Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 207,8 Giga Watt Peak (GWp) dengan realisasi mencapai 0,15 GWp.

Pada tahun 2020, tambahan kapasitas pembangkit EBT ditargetkan menjadi 933 MW dengan PLTS 78 MW. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya mendorong pemanfaatan energi surya secara optimal, dengan melibatkan seluruh stakeholder.

“Penggunaan energi surya sebagai green energy menggunakan clean technology harus menjadi pilihan dan prioritas bagi kita untuk mendukung sustainability,” kata Agung.

Sebagai informasi, perovskite masuk sebagai rare earth elements (REE), yang senyawa kimianya disebut Kalsium Titanium Oksida dengan rumus kimia CaTiO3.

Mineral ini pertama kali ditemukan ditemukan di sekitar Pegunungan Urals, Rusia, oleh Gustav Rose pada tahun 1839, yang kemudian dilakukan penelitian lanjut oleh Victor Goldschmidt pada tahun 1926. [HES]

Sumber: RM.id

Bang Ferry

Author: Bang Ferry

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *