Di tengah hiruk pikuk kuliner Jakarta yang didominasi oleh soto, sate, dan kerak telor, tersimpan sebuah permata kuliner yang kaya akan sejarah dan rasa: Nasi Ulam. Lebih dari sekadar nasi campur, hidangan ini adalah cerminan akulturasi budaya yang telah mengakar kuat di tanah Betawi hingga diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Namun, apa sebenarnya Nasi Ulam itu? Mengapa ia memiliki dua versi yang berbeda, dan bagaimana jejak budaya Tionghoa, India, hingga Belanda berpadu dalam satu piring? Mari kita bedah tuntas warisan kuliner yang lezat ini.
Apa Itu Nasi Ulam? Filosofi di Balik Namanya
Secara harfiah, “ulam” dalam konteks kuliner Betawi merujuk pada serundeng (kelapa parut sangrai) yang dicampur dengan rempah. Kata kerja “mengulam” berarti mencampur atau mengaduk. Maka, Nasi Ulam adalah nasi putih hangat yang diaduk rata dengan serundeng kaya rempah, kacang, dan rempah segar seperti daun kemangi atau pegagan, yang kemudian disajikan dengan aneka lauk pauk.
Ciri khas utama yang membedakannya dari nasi campur lain adalah penggunaan serundeng gurih yang dicampur ebi (udang kering), memberikan aroma dan rasa umami yang mendalam pada setiap suapan nasi.
Jejak Akulturasi Budaya dalam Sepiring Nasi Ulam
Asal-usul Nasi Ulam bukanlah dari satu sumber tunggal, melainkan sebuah mahakarya hasil perpaduan beragam budaya yang membentuk Jakarta. Para ahli kuliner melihat adanya tiga jejak pengaruh utama:
- Pengaruh Tionghoa: Konsep menyajikan nasi dengan berbagai macam lauk dalam satu piring diyakini mendapat pengaruh kuat dari tradisi kuliner Tionghoa.
- Pengaruh India: Penggunaan serundeng dari kelapa parut yang disangrai dan taburan kacang tanah merupakan elemen yang sering ditemukan dalam masakan India, yang dibawa oleh para pedagang di masa lampau.
- Pengaruh Belanda: Kehadiran lauk pendamping seperti semur (daging, tahu, atau kentang yang dimasak dengan kecap manis) dan perkedel kentang adalah warisan nyata dari era kolonial Belanda.
Ketiga pengaruh ini kemudian berpadu dengan cita rasa lokal Melayu-Betawi yang menggunakan rempah-rempah nusantara dan dedaunan segar sebagai penambah aroma.
Dua Wajah Nasi Ulam: Basah vs. Kering, Mana Favoritmu?
Keunikan Nasi Ulam terletak pada dua variasi penyajiannya yang sangat berbeda, yang konon dipengaruhi oleh letak geografis komunitas Betawi.
1. Nasi Ulam Basah (Versi Pesisir)
Varian ini identik dengan masyarakat Betawi di kawasan pesisir utara Jakarta, seperti Tanjung Priok, Kemayoran, Matraman, dan komunitas Tionghoa Benteng. Ciri utamanya adalah siraman kuah semur yang membuatnya “basah” atau becek.
- Komponen Utama:
- Nasi putih hangat.
- Siraman kuah semur tahu dan kentang yang manis-gurih.
- Bihun goreng.
- Serundeng kelapa.
- Lauk wajib seperti cumi asin goreng, telur dadar iris, dan perkedel.
- Pelengkap segar seperti daun kemangi, timun, dan taburan kacang tanah goreng.
- Profil Rasa: Gurih, manis dari kuah semur, dengan aneka tekstur dari lauk pauk yang beragam.
2. Nasi Ulam Kering (Versi Pedalaman)
Varian ini lebih umum ditemukan di wilayah Betawi yang lebih jauh dari pesisir. Disajikan tanpa kuah, Nasi Ulam kering menonjolkan cita rasa asli dari nasi yang sudah berpadu dengan serundeng.
- Komponen Utama:
- Nasi putih yang sudah diaduk rata dengan serundeng kelapa.
- Sambal kacang atau sambal terasi sebagai pendamping.
- Aneka lauk kering seperti empal goreng, dendeng manis, atau ikan asin.
- Pelengkap lain seperti tempe goreng, perkedel, dan pepes.
- Tidak lupa lalapan segar seperti daun kemangi dan emping goreng yang renyah.
- Profil Rasa: Dominan gurih, wangi rempah dari serundeng, dengan sensasi rasa yang lebih ringan dan tekstur yang lebih beragam (renyah dari emping, empuk dari empal).
Nasi Ulam Dulu dan Kini: Dari Sarapan Hingga Sajian Hajatan
Secara tradisional, Nasi Ulam sering dijadikan menu sarapan karena porsinya yang padat dan gizinya yang lengkap, memberikan energi yang cukup untuk memulai hari. Selain itu, dalam tradisi masyarakat Betawi, Nasi Ulam sering dimasak dalam porsi besar untuk acara-acara penting seperti hajatan atau perayaan hari besar.
Kini, meski tidak sepopuler kuliner Betawi lainnya, Nasi Ulam tetap menjadi warisan yang dijaga oleh para penjualnya dari generasi ke generasi. Menemukan warung Nasi Ulam yang otentik adalah seperti menemukan harta karun tersembunyi di sudut-sudut kota Jakarta.
Sebagai penutup, Nasi Ulam bukan hanya sekadar makanan pengisi perut. Ia adalah bukti hidup bagaimana Jakarta menjadi titik temu berbagai budaya, yang berpadu harmonis dalam sepiring nasi kaya rasa. Mencicipi kedua versinya adalah cara terbaik untuk menghargai dan melestarikan warisan kuliner yang luar biasa ini.
Leave a Reply