Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sebuah gagasan cemerlang muncul dari dunia filologi: memanfaatkan kearifan leluhur yang tersimpan dalam manuskrip dan naskah kuno. Ajaran tentang integritas, kejujuran, dan larangan mengambil yang bukan haknya ternyata telah lama menjadi bagian dari warisan budaya bangsa, jauh sebelum istilah korupsi dan gratifikasi populer.
Kini, para peneliti dan akademisi mendorong agar nilai-nilai luhur ini digali kembali dan disosialisasikan secara masif dengan dukungan dari lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperkuat fondasi moral bangsa.
Potensi Terpendam dalam Manuskrip Kuno
Menurut Munawar Holil, seorang Filolog dari Universitas Indonesia (UI) sekaligus Ketua Umum Masyarakat Penaskahan Nusantara (Manasa), naskah-naskah kuno Nusantara adalah sumber kaya akan ajaran antikorupsi yang belum banyak tersentuh. Selama ini, penelitian manuskrip belum secara spesifik menggali tema larangan korupsi secara tematik.
“Menurut saya itu (nilai-nilai antikorupsi) penting sekali digali, karena nilai-nilai tentang yang gak boleh melakukan korupsi atau gratifikasi itu sudah ada dalam manuskrip sejak lama,” ujar peneliti yang akrab disapa Kang Mumu ini.
Meskipun tidak ada naskah yang secara eksplisit berjudul “Panduan Antikorupsi”, nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam ajaran moral, etika kepemimpinan, dan norma sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Studi Kasus: Kearifan Sunda dalam Naskah Amanat Galunggung
Salah satu contoh konkret yang diungkapkan oleh Munawar Holil adalah naskah kuno Sunda, Amanat Galunggung. Di dalam naskah ini terkandung ajaran dan falsafah hidup yang secara inheren melarang praktik-praktik koruptif.
“Jadi ada beberapa konsep, termasuk dalam ungkapan-ungkapan kebudayaan Sunda itu ada nilai-nilai tentang itu,” jelasnya.
Ini membuktikan bahwa prinsip antikorupsi bukanlah konsep impor, melainkan nilai yang sudah hidup dan menjadi bagian dari kesadaran masyarakat Nusantara, setidaknya sejak abad ke-16 atau bahkan jauh sebelumnya.
Sinergi Strategis: Kolaborasi Akademisi dan KPK
Gagasan ini telah menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini gencar melakukan sosialisasi dan edukasi antikorupsi. Dalam sebuah diskusi, pihak KPK menjajaki kemungkinan untuk menelusuri ajaran antikorupsi dari berbagai naskah kuno di Indonesia.
“Mereka saat itu meminta apakah bisa menelusuri naskah-naskah atau manuskrip yang berisi tentang pelarangan korupsi atau nilai-nilai yang berkaitan dengan gratifikasi,” ungkap Kang Mumu.
Kolaborasi antara filolog (ahli naskah kuno) dan KPK dapat menghasilkan materi sosialisasi yang unik, berakar budaya, dan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Menggunakan kearifan lokal sebagai landasan kampanye antikorupsi diyakini akan lebih efektif dalam membangun kesadaran kolektif.
Langkah ke Depan: Mendesaknya Inventarisasi Naskah Antikorupsi
Sebagai langkah konkret, Munawar Holil menyarankan agar lembaga-lembaga penelitian pemerintah, seperti Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) di bawah Kementerian Agama, untuk memulai proyek strategis ini.
“Menurut saya, bisa dimulai dengan menginventarisasi manuskrip-manuskrip yang berisi atau terkait dengan nilai-nilai antikorupsi, gratifikasi, ataupun kolusi,” tegasnya.
Dengan adanya inventarisasi yang sistematis, nilai-nilai luhur dari masa lalu ini dapat diolah menjadi bahan ajar, modul pelatihan, dan konten kreatif yang relevan untuk generasi masa kini. Ini bukan hanya akan menjadi kontribusi akademis, tetapi juga partisipasi aktif dalam upaya besar pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pada akhirnya, perang melawan korupsi tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang revitalisasi karakter dan integritas bangsa. Dan jawabannya mungkin saja sudah lama tersimpan rapi dalam lembaran-lembaran naskah kuno yang menunggu untuk dibaca kembali.
Leave a Reply